Jujur terhadap diri sendiri tidak semudah copy-paste tulisan orang. Kalimat ini gue ciptakan dan selalu gue tanamkan ke dalam benak gue. Terlebih jika gue ditanya, "Hal apa sih yang membuat lo—mau aja gitu—mengatasnamakan diri lo sendiri dengan frase mantan playboy?
Untuk
sesuatu hal buruk dan menjadikannya menjadi lebih baik, gue akan terus
memperjuangkannya. Ini mimpi gue.
“Monalisa
dikenal bukan karena bagus, tapi karena Da Vinci amat sangat posesif terhadap
karyanya itu: kemana-mana dia bawa. Maka posesiflah terhadap karya-karyamu.” sebuah
tweet dari Mbah Jancuk Sujiwo Tejo. Kemudian gue jadi teringat dengan Monalisa
versi gue.
Setiap
pergi ke acara gathering forum kaskus atau yang lainnya, gue selalu bawa cerita
tentang buku gue. Bersyukur disambut positif. Kalau ada teman gue yang main ke
rumah atau gue menemui mereka di luar, pasti ngadain talkshow kecil-kecilan.
Nggak jauh, tentang buku juga kehidupan gue. “Mul, buku lo udah terbit?”
pertanyaan ini pasti ada. Dan yang lebih konyol… “Mul, kapan punya cewek lagi?”
hahaha…
Atau bagi yang belum begitu kenal dengan gue, waktu gue sebut “Mantan Playboy” pasti pada kagak percaya. Yaudah~
Mungkin
yang dikatakan Mba Aci ada benarnya juga. Ya, gue juga nggak tahu apa gue ini
playboy atau bukan. Seperti balasan gue padanya di atas, yang gue tahu—kini gue
nggak perlu lah terlalu memikirkan lagi hal-hal yang merugikan diri gue
sendiri, apalagi dengan merasa kecewa.
Yap!
Karena orang akan lebih sensitif dari cewek yang lagi PMS, ketika sedang
membahas soal ‘mantan’. Isn’t true?
Syukurlah
kalau bisa menginspirasi banyak orang, dan terima kasih doanya.
Mengheningkan
cinta, dimulai… Aamiin.
Jauh
sebelum gue menulis ‘catatan mantan playboy’, gue selalu gagal dalam
menyelesaikan cerita baik itu fiksi maupun kisah nyata. Mungkin ada beberapa
cerita pendek yang berhasil gue tulis hingga akhir, namun setelah
sekarang-sekarang ini gue lihat kembali untuk kemudian gue baca ulang, sesaat
gue nggak percaya kalau gue lah penulisnya. Tulisan-tulisan itu sangat buruk,
atau dengan kata lain—gue menganggap bahwa gue nggak akan pernah bisa menjadi
seorang penulis.
Cerpen
pertama yang gue buat memiliki judul “Penantian”. Gue bikin cerpen tersebut
pada awal tahun 2011, dan ceritanya pun tentang gue yang ngarep bisa balikan
sama mantan yang putus pada pertengahan September 2010. Cerpen itu udah dibaca
sama mantan gue secara langsung, ketika dia gue undang untuk main ke rumah
setelah beberapa bulan kami nggak lagi berpacaran. Pertemuan itu terjadi
sekitar Maret sampai Mei 2011, sedikit agak lupa. Haha.
Sejak
gue putus dari dia, gue jadi rentan galau, sampai gue pun ngomel-ngomel sendiri
saat nonton film 500 Days of Summer. Pikir gue di awal adalah… ini mah bukan
film tentang move on, tapi tentang indahnya masa-masa kenalan untuk kemudian
pendekatan. Namun ketika di pertengahan film, gue menemukan percakapan antara
Tom Hansen (tokoh dalam film itu) dan temannya yang berambut kribo. Temannya
berkata, “Cara terbaik untuk melupakan seorang wanita adalah dengan
menjadikannya karya sastra—Henry Miller.”
Dan setelah film itu kelar gue tonton, barulah
gue menemukan sesuatu hal yang udah cukup lama gue tinggalkan.
Awal
gue di kelas 3 SMP—Juli 2007—gue menulis cerita bersambung di buku
coret-coretan. Di tahun yang sama dengan cerpen pertama gue, gue berniat lagi
ingin membuat sebuah buku yang gue sendiri penulisnya. Sebenarnya gue udah
menerbitkan dua buku. Karya gue berupa flash-fiction dan ikut ke dalam antologi
bersama penulis-penulis lainnya. Pertama tentang valentine, buku yang kedua
berjudul Semanis Katamu.
Buat
kalian yang belum tahu, ada banyak komunitas buku di Indonesia tercinta ini.
Kalau gue—gue bergabung dengan salah satu forum di forum kaskus, juga bergabung
bersama penulis-penulis indie di grup-grup kepenulisan yang ada di FB, dan
inilah yang kemudian membawa gue bisa mengenal serta menjalin pertemanan dengan
beberapa penulis yang bukunya udah pada terbit. Sedangkan elo, Mul, kapan?
Pertanyaan
itu lebih mirip sebuah harapan bagi gue. Saat ini gue masih dalam tahap
self-editing lagi, karena gue merasa jika naskah yang udah gue kirimkan ke
penerbit, masih perlu banyak perbaikan. Gue baca ulang kembali, dan ternyata…
banyak kata yang salah ketik dan alurnya rumit buat dipahami orang yang membacanya.
Meski sekuel atau lanjutan dari naskah tersebut beberapa udah gue tulis, namun
gue mesti tahu mana yang seharusnya gue lakukan terlebih dahulu.
Satu
hal yang selalu membuat gue ragu, yaitu tentang genre naskah buku gue. Mungkin
naskah gue ini memiliki genre yang sama, yaitu personal literature, tapi nggak seluruhnya
komedi seperti syarat pengajuan naskah di penerbit.
Tanggal
26 Agustus 2013 kemarin, akhirnya gue dapat SMS dari seorang editor. Begini isi
SMS-nya:
Hai..
tri. Ini gue (nama disembunyikan).. Coba kasih gue sinopsis naskah lo dong.. Ceritanya
tentang apa? Ke email gue: semoga.diterima@ngarep.kode
ya.
Demi
privasi yang bersangkutan, email di atas hanyalah rekayasa penulis.
Gue
terima SMS itu tepat pukul 13:27. Karena gue terlalu sibuk editing Bab 5,
mendadak cacing-cacing di perut gue pada scream. “Kasih gue makan, woi!” “Woi!
Cepetan! Mau gue obrak-abrik, nih, isi perut lo?!” lalu gue pun pergi ke dapur
untuk menuruti tingkah laku mereka. Oke, ini lebay, lebih lebay dari username akun Twitter gue.
Entah
apa yang membawa gue, sampai gue tiba-tiba memikirkan sinopsis yang udah gue
susun sebelumnya. Untuk personal literature dan mengarah ke pembaca-pembaca di
luar sana, kayaknya gue mesti mengubah kata-kata yang cenderung cukup rumit
untuk mereka pahami. Usai gue makan, gue kembali menyalakan komputer yang belum
lama gue matikan sesaat sebelum di-SMS editor penerbitnya.
Selang tiga menit komputer dinyalakan, gue rombak total dan mengetik lagi dari awal sinopsis tentang naskah
buku gue. Setelah menurut gue kata-katanya udah pantas dengan genrenya, gue
langsung menjalankan browser yang tertera di desktop komputer. Tapi sayang
ketika gue mau log in, ternyata kuota gue dari jam 12 siang sampai jam 12 malam
udah abis. Asuuu… ketus gue saat itu. Beruntung masih ada duit di dompet gue,
jadi gue isi pulsa internet lagi namun pakai kartu seluler lain.
“Just
trust the publishers, and they will get back to you soon.” kata Mba Winna
Efendi di buku DRAF 1.
Sinopsis
udah gue kirim beserta ulasan tentang cerita yang ada di buku gue. Walau belum
dapat email balasan, sejak pertama gue kirimkan hardcopy naskah gue ke
penerbit tersebut, gue percaya dan selalu yakin kalau gue nggak salah dalam
memilih book publishing. Sampai curhatan ini gue share, saat ini gue baru aja
mau lanjut editing dua bab selanjutnya, yaitu Bab 6 dan Bab 7. Sekarang gue
juga memakai jasa first readers, yang nggak lain adalah beberapa teman yang gue
pilih karena mereka lah yang gue percaya bisa gue ajak bercanda dan serius
seputar cara gue berinteraksi di dunia maya.
“Apa
tujuan kamu menulis?” Untuk menemukan dunia kedua yang bisa menerima saya apa
adanya, juga membuat saya nyaman tanpa ada keterpaksaan di dalamnya. Kadang
seorang yang ngerasa tersindir itu sebenarnya cuma ngerasa pernah mengalami kejadian
yang nggak sengaja sama. There's a reason why I’m here.
Dan
ketika lo merasa kalau lo merupakan satu-satunya orang yang gagal di dunia ini,
lihatlah bahwa masih banyak dari mereka yang merasa senasib. Sekian dan terima
kekasih.
Semoga cepet terbit bukunya, mul! :D
BalasHapusAamiin. Sukes jugabuat buku lo, Vin! :D Dan mungkin akhir tahun 2013 atau awal tahun 2014, buku gue baru terbit. Caiyo~
HapusSemoga terbit bukunya masgan... :ck
BalasHapusSemoga awal tahun 2014 bisa terbit ya. :')
HapusNah, aku baru baca yang ini. :)
BalasHapus