Dik,
kalau aku selalu gagal, masihkah pantas kegagalanku ini menjadi kebahagiaan
untukmu? Kebahagiaan yang orang cari-cari, yang jarang orang berpikir dalam
sekejapan mata kita bisa menciptakannya.
Dik,
kalau aku berandai-andai, sanggupkah kau temani aku dalam setiap penolakan yang
kerap kali aku ceritakan? Barangkali kita telah terlupa dari harapan-harapan.
Bila saja kenyataan ini tak membuat deritamu semakin dilema perasaan bersalah,
Dik.
Banyak
hal yang dapat kutemukan ketika aku memejamkan mata, Dik. Masih dapat terlihat
dengan jelas bagaimana pertama kali kita bertemu, melempar pemikiran dalam
pandangan masing-masing, tersenyum walau tanpa sepatah kata yang menghiasi
pertemuan itu. Tidakkah kau ingat, Dik, bahkan saat aku dengan cuek
memperhatikan kebersamaanmu selagi masih jadi kekasih temanku.
Kini
dalam setiap kabar kecemburuan, tiada lagi yang bisa kita jelaskan. Apalah arti
kejelasan. Apalah arti merindukan status hubungan. Tapi keadaannya kini
berbeda, Dik, aku terlalu mencintai untuk tidak dicintai. Aku terlalu peduli
untuk tidak dipedulikan orang-orang. Dik, ini bukan tentang ketika aku bersama
penolakan dan kegagalan-kegagalan yang datang, melainkan aku hanya ingin
bersandar pada khayalan serta pada tiap-tiap doa yang penuh akan harap.
Bagaimana
seseorang bisa membenci saat hidup ini mengharuskan masing-masing manusia untuk
saling mencintai?
Pertanyaan
bodoh. Sudah jelas setiap orang punya pilihan tersendiri. Tapi mana tahu ada
keajaiban. Tapi mana mengerti jika keraguan mendatangkan kebenaran. Ya,
setidaknya kebenaran itu hanya untuk diriku sendiri. Aku tak ingin terkapar
dari pertanyaan-pertanyaan—tentang kapan terbitnya buku yang seringkali aku
promosikan ke orang-orang. Sulit, Dik, tamparlah aku jika saja aku terlalu
banyak berharap. Tinggalkan saja masa lalu. Ah, sudah sering aku mendengar
pesan seperti itu. Saat orang-orang berpesan demikian, tapi mengapa mereka juga
berkeinginan untuk kembali ke masa lalu masing-masing, meski hanya sebentar,
setiap kejadian menghadirkan berjuta-juta keinginan untuk diingat. Seperti kita
sekarang, Dik, aku tak mau melewatkan masa-masa genting antara ditolak ataupun
berhasil dan selangkah sampai ke impianku: menerbitkan buku yang aku sendiri
penulisnya.
Kau
tahu aku mulai serius menjalani rutinitas seperti membaca, menulis, membaca,
menulis, dan memperdalam untuk bisa kenal dengan yang namanya sastra. Dan
lucunya, entah kenapa kau terlihat begitu cemburu dengan rutinitasku ini. Haha. Kalau kau
cemburu, kenapa kau juga tak ikut menjalani rutinitas yang sama denganku?
Dari
sudut kesunyian, izinkan aku menutup kalimat-kalimatku yang berantakan dan tak masuk dalam kategori tulisan yang bagus.
Dan
dari harapan-harapan, semoga kelak tak ada kata putus asa dalam mengejar impian
kita masing-masing, meski harus ditelan kebisuan dan pil pahit dari busuknya
perkataan-perkataan orang—inilah aku, masa lalu, dan khayalan-khayalan.