Selasa, 03 Juni 2014

Mencari Kepulangan


Malam jatuh tepat di atas kepalaku
Meruntuhkan segala harap
pada hari yang masih baru
Berkunang-kunang mataku
mencari kepulangan
Bagai angin melenggak malu
dari debu dan aspal jalan

Belum waktunya
Belum waktunya aku pulang

Matahari muncul menyilaukan mimpiku
Menyeret pagi hingga ke tepian Bumiayu
Kuhisap sebatang rokok
Kumaknai sendiri apa arti dari kepulangan

Orang-orang menuntut hak para kuli kemudi
Karena mesin bus macet
Lalu kami terdampar di alam yang indah
Namun, entah kenapa mereka jadi kolot
oleh ideologi masing-masing
Sementara aku di antara mereka
Berdiri menenteng derita
Menyangsikan sendiri sifat-sifat manusia
Anak kecil menangis di gendongan ayahnya
Dan ayahnya kebingungan
bagaimana cara membuat ia kembali tertawa

Belum waktunya
Belum waktunya aku pulang

Tapi beberapa hari lalu
seorang perempuan memintaku menulis sajak
Maka kutulis saja sajak ini
Sajak yang pusing
di barisan detik pencarian yang genting

Bersama langit yang kembali membiru
Di depan pabrik pengerukan pasir
Aku merenungi kepulanganku

Bumiayu, 30 Mei 2014

Kamis, 17 April 2014

Masa, Karma, dan Cinta yang Lain

Ini adalah cerpen saya yang tak berpulang dan tidak ada konfirmasi bilamana cerpen itu tidak lolos seleksi/tidak sesuai dengan syarat mengikuti lomba cerpen Mantan Terindah. Sekarang judulnya sudah saya ganti. Selamat membaca!

Rabu, 16 April 2014

Habent Sua Fata Libelli

Hal baru, hal yang pertama kali dilakukan, suatu yang tidak biasa-biasa saja. Selalu ada yang beda dan berkesan. Buku pertama, misalnya. Buku pertama saya, Catatan Mantan Playboy, mengalami proses yang cukup panjang. Dari saya hampir dirawat di RS hingga ditolak penerbit, dsb.

"Begitulah kalau nulis cuma asal curhat." Sebuah kalimat muncul di mimpi saya, membuat saya sempat dilema untuk menerbitkan Catatan Mantan Playboy. Tapi beberapa pembaca (naskah buku pertama saya sempat dipublikasikan secara online) terus menanyakan kepastian kabar buku pertama saya.

Saya bukan blogger/artis/selebtwit, bukan pula orang yang terkenal di dunia maya ini. Tapi menerbitkan buku adalah salah satu impian saya sejak kelas 3 SMP. Catatan dari editor buku saya, menunjukkan kalau naskah Catatan Mantan Playboy (dulu) memang pantas untuk ditolak sebuah penerbit besar. Berantakan! Tapi saya merasa beruntung. Karena naskah buku yang berantakan itu, kemudian saya jadi bisa berkenalan dengan rekan penulis, para pembaca, para editor buku, dll.

Habent sua fata libelli. Buku-buku memiliki nasibnya sendiri. Tapi nasib, ia selalu dapat diperjuangkan. Maka apalah artinya terkenal kalau hanya mengubah diri menjadi orang yang bebal.

Terima kasih ucapan dan doa dari kalian. Semoga saya tidak menjadi orang yang sombong, apalagi sampai lupa sama teman sendiri.

Berikut informasi tentang buku saya:




Copyright© Tri Em
Cetakan pertama April 2014
Penyunting: Yovi Sudjarwo
Proof Reader: Maria Puspitasari
Tata Letak: Anindra Saraswati
Desain Sampul: Abi Azra
Ilustrator: Rendy Ridwan

Diterbitkan oleh
Indie Book Corner
Perum Buana Asri Village D4
Jl. Griya Taman Asri Sleman, Jogjakarta

www.bukuindie.com
facebook.com/inibukuku
twitter: @indiebookcorner
email: redaksi@bukuindie.com

256 hal; ISBN; novel fiksi

Kamis, 10 April 2014

Penyakit Kami: Malu (PEMILU)



Terjaga di malam penuh dusta
Melihat bilik-bilik kaleng bicara
pada orang-orang buta
Mendengar orang-orang mengorok
Berselimut dengan liur, bersetubuh
pada ketidakpercayaan
Menyimak nyanyian setan
merdu di atas kepala mereka


Kamis, 27 Maret 2014

Halusinasi

Kepada perempuan berhati baja

Pertemuan pertama
terkesan begitu beda
Tatapan kosong, menggantungkan
pandang di matamu

Aku bertanya pada malam
yang semakin kelam
Pertemuan pertama
di antara kita dan diam

Ingin sekali kurebahkan
kelamku di sisimu
Kelak kau tahu, aku hidup
dari masa lalu

Untuk harapan
yang tak semestinya ada,
Sadarkah engkau
hadirkan harap di dalamnya?

Dan aku harus menghapus
semua duka, sebelum lupa
Biarlah waktu menjawab setiap tanya
Ingat dan kenang saja

Cikini, 23 Maret 2014

Rabu, 26 Maret 2014

Sajak Elek

Kepada ucapan yang samar,

Membacakan asa,
membuat lidahku
tiba-tiba beku
Tanpa R,
tanpa wrasa
Dengan T,
Telek!

Kampung Makasar, Seumur Hidup

Sajak Senja Tawa Makan Tuan

Kepada perempuan berhati baja,

Seorang perempuan bercerita
padaku tentang luka
Luka, begitu katanya
Mendengar judulnya saja,
aku langsung tertawa
Sutardji bilang luka itu Ha Ha
Aku bilang luka itu Ha Ha Ha
Harus apa? Harus siapa?
Harus bagaimana? Ha Ha Ha
Karena aku tertawa, perempuan itu
jadi tidak melanjutkan ceritanya
Lantas aku bertanya,
"Kok diam saja?" tapi ia
tidak menjawab apa-apa
Lalu aku bertanya lagi,
"Lagi sakit gigi, ya?"
Pertanyaanku malah dijawabnya
dengan senyum simpul
"Dasar perempuan!" bisik setan berbibit unggul
Kemudian senja berjatuhan
dari atap langit,
Lalu turun malaikat cebol
bersiap dengan panahnya
segaris dengan pandang perempuan itu
Aku berjaga dalam diam,
berjaga untuk tidak tertusuk
terlalu dalam
Ah!
Sayangnya aku terlalu lemah
hingga teringat pada duka
Dan tawa yang mati dibunuh kata-kata

Cikini - Kampung Makasar, 23-25 Maret 2014

Senin, 24 Maret 2014

ASEAN LITERARY FESTIVAL 2014 dan Kisah Seorang Anak Magang


Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya bila aku tidak menuliskan ini semua. Mungkin hanya akan mengabadi di dalam ingatan, pun lain hal jika aku mengabadikannya lewat tulisan. Atau dengan beberapa gambar, semoga zaman tidak membuat kenangan ini menjadi pudar.

Selasa, 18 Maret 2014

Sajak Pikiran

Kepada para pelupa,

Menatap malam,
mendengar anjing-anjing menggonggong
di kejauhan
Pikiran sinting!
Orang-orang sibuk dengan
mimpi mereka masing-masing
Gelap di sekelilingku,
memunculkan permasalahan baru
Baru dikeluarkan dari
pantat para pejabat
Lingkungan, pendidikan, dan perut yang kelaparan
Moral, norma, dan zaman yang semakin edan
Pikiranku mulai kacau!
Kusaksikan sebagian orang berubah
jadi binatang, hanya karena uang!
Dulu uang hanya pengganti barter barang
Tapi kini, bahkan ia dapat menukar wajah,
mengganti warna kulit, dan membeli segala omong kosong
Entah, apakah hanya aku yang kurang kerjaan
atau aku lagi bermimpi,
Mendengar lolongan anjing-anjing
di tengah ketidakpedulian malam

Jakarta, 18 Maret 2014

Jumat, 14 Maret 2014

Rintik yang Terkenang

Di bawah langit ini
ada rintik yang tak henti
dari hujan di bulan Februari
Hujan yang datang
tanpa diundang, menyapa mereka
yang sedang duduk terkenang

Di bawah langit ini
rintik itu mulai membasahi,
dingin pada kepala dan isi
Tak peduli dengan benci
yang pernah berderai
kala mereka saling mengucap janji

Hujan di bulan Februari
jadi saksi dua orang kolot
duduk sorot-menyorot,
Bola mata beradu pandang
yang bisu, si lelaki tunduk
dalam seribu tanya 

Hujan di bulan Februari
kini hadir kembali,
Mengungkap sebuah tangis, kekasih
dan senyum simpul di wajah
memukul telak si lelaki,
Lagi, dan lagi...


Jakarta, 14 Maret 2014

Kamis, 20 Februari 2014

Meludahlah pada Tempatnya

Dari minor kepada mayor

Aku tulis sajak ini
dalam hitam di atas putih,
Di antara hidup atau mati
di antara melawan atau menyerah,
Di antara menang atau kalah
di antara benar atau salah

Otakku bukan otak udang
yang gampang saja bisa kau buang,
Ini kepala punya massa, punya berat
Tak sampai hati jika aku menjilat
Jilat, aku jilat ludahku sendiri
Biar sekalian hina tanpa perlu dikebiri

Cuih…
Kau meludah tanpa mengizinkan
aku untuk memilih,
Cuih…
Kau ludahi aku tanpa merasa
pernah mengabaikan letih,

Anjing menggonggong kafilah berlalu
Engkau sombong tiada kenal malu,
Air beriak tanda tak dalam,
Aku teriak kok kau jadi kelam?
Cuih…
Meludahlah pada tempatnya


Jakarta, 6 Februari 2014

Sabtu, 18 Januari 2014

Aku Tidak Koma

Setelah surat terbuka itu aku buat dengan sesakit-sakitnya, aku tak ingin terlalu berharap lagi kepada mereka. Mereka yang mengaku sebagai temanku, sebagai teman yang semakin lama semakin terasa jauh. Kau, temanku, apa lagi yang akan kau katakan setelah cukup jauh meninggalkan aku seorang diri, juga tanpa mau untuk peduli? Ingatkah engkau terhadap bekas luka yang tak kasat mata ini? Kau lihat aku jatuh, lalu bangun; dari rasa ingin berharap. Kau hanya diam, menatapku seolah-olah memang itulah yang kau inginkan. Tatapan iba, tatapan bukan selayaknya seorang teman, tapi pengemis!