Sabtu, 18 Januari 2014

Aku Tidak Koma

Setelah surat terbuka itu aku buat dengan sesakit-sakitnya, aku tak ingin terlalu berharap lagi kepada mereka. Mereka yang mengaku sebagai temanku, sebagai teman yang semakin lama semakin terasa jauh. Kau, temanku, apa lagi yang akan kau katakan setelah cukup jauh meninggalkan aku seorang diri, juga tanpa mau untuk peduli? Ingatkah engkau terhadap bekas luka yang tak kasat mata ini? Kau lihat aku jatuh, lalu bangun; dari rasa ingin berharap. Kau hanya diam, menatapku seolah-olah memang itulah yang kau inginkan. Tatapan iba, tatapan bukan selayaknya seorang teman, tapi pengemis!

Biar sedikit kuceritakan, teman, tentang seorang yang dijauhi bahkan oleh masyarakatnya sendiri:
Kenal kau dengan seorang musisi bernama Ludwig Van Beethoven? Syukurlah kalau kenal, dan kalau tak, mari biar kuceritakan. Beethoven lahir di kota Bonn, Jerman, tahun 1770, lalu tiga belas tahun kemudian—dengan bakatnya yang luar biasa pada masa remaja—dia bisa bikin buku musik. Kuulangi lagi, bikin buku musik sendiri! Pendek cerita, dia belajar dari pencipta musik Wina kesohor. Seiring pembelajarannya itu, dari Mozart yang cuma ketemu sekali, lalu belajar ke yang lain setelah gurunya itu pergi dari dunia ini, semakin menjadilah nama Beethoven di telinga masyarakat bersamaan dengan kelihaiannya bermain piano. Satu lagi, di usia pertengahan dua puluh tahun ke atas, dia mampu menerbitkan dan menjual buku ciptaannya tanpa kesulitan apa pun.
Tapi sayang, pada masa-masa itu seorang musisi seperti Beethoven malah menderita penyakit tuli. Ketuliannya membuat ia menjauhi masyarakat, dan masyarakat pun jadi tak yakin dengan sosoknya yang mengagumkan itu. Masyarakat hanya menganggapnya seorang yang antisosial, antimasyarakat, benci bergaul atau boleh jadi kalau masa sekarang sebut saja ‘susah peduli’. Namun di balik penyakit tuli yang dideritanya, kesuksesan justru datang karena produktivitasnya dalam berkarya. Beethoven, dengan produktivitasnya itu tetapi lama-kelamaan karya-karyanya sulit diterima bahkan dipahami oleh masyarakat. Kemudian ia bikin musik untuk dirinya sendiri, juga para pendengar yang sama pekaknya, tapi punya pandangan terhadap masa depan.
Beethoven pun pernah berkata kepada seorang kritikus musik, “Ciptaanku ini bukanlah untukmu, tetapi untuk masa sesudahmu.” Masa sesudahmu!
Nah, itu tadi cerita tentang seorang dijauhi beberapa masyarakat, tetapi karya-karyanya malang-melintang menginspirasi orang lain hingga detik ini. Dan jelas berbeda denganku, yang belum berbuat sesuatu pun dari dan kepada kau, wahai teman dengan berbagai macam bentuk kepedulian!
Sudah baca surat terbuka dariku, kan, teman? Intinya dalam surat terbuka itu aku beserta kedua buah naskah buku pertamaku ditolak oleh penerbit besar; setelah enam bulan menghadapi suatu ketidakpastian. Pahit? Sungguh pahit! Tapi aku pun selalu ingat pesan Ibu, sesuatu yang pahit adalah hal yang bikin sehat tubuh kembali, tak terkecuali pikiran. Pikiran yang dalam ketidakpastian itu betul-betul mengacaukan semua yang ada di depan mata. Pikiranku sendiri, juga aku tersakiti olehnya! Tenanglah, sabar dulu, biar kuberitakan juga kabar yang kunamai ini: rasa ingin mengasihani diri.
Sudah kupikiran secara matang, bahwa aku telah mengalami yang namanya penolakan, lalu berpaling ke cara yang dilakukan oleh Beethoven. Aku menerbitkan bukuku secara indie, itu pun masih butuh bantuan teman-temanku yang ada di Jogja. Bukankah orang dalam hidupnya memilih, sekalipun ia tak menentukan pilihan? Komentar, atau lebih sering orang suka menyebutnya dengan sindiran, tak pelak hal itu memang sudah jadi dasar masing-masing orang. Maka bila kau bertanya “Kapan bukumu terbit?”, akan dengan senang hati aku menjawab satu atau dua bulan lagi.
Butuh waktu, begitulah proses. Begitu kiranya yang dinamakan keindahan dan kebahagiaan. Sebab hidup dari derita; dari berjuta kebusukan. Apa yang berlalu, memang sudah selayaknya menjadi busuk. Termasuk aku, cerita-ceritaku, juga kau dengan segala senyum palsumu. Teman, barangkali kau terlupa dengan kata-kataku: kebahagiaan itu diciptakan, bukan dicari atau bahkan ditemukan. Sekalian aku juga mengingatkan diriku sendiri, jika hidup yang indah memang tak bisa begitu saja dinikmati secara mudah. Dan entah kepada siapa aku harus berterimakasih selain kepada Tuhan, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, juga orang-orang yang aku sayang dan sayang kepadaku.
Terimakasih, dan maaf bila aku pernah mengecewakan kalian.
Nanti kita sambung lagi keisenganku ini ya, teman, selalu teriring doa dari kejauhan. Sebab hanya doa yang dapat kupersembahkan, tak lain dan tak bukan sebagai wujud terimakasihku pada seorang teman.

Salam bahagia dariku, seorang yang nantinya juga akan terlupakan oleh zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar