Setelah
surat terbuka itu aku buat dengan sesakit-sakitnya, aku tak ingin terlalu
berharap lagi kepada mereka. Mereka yang mengaku sebagai temanku, sebagai teman
yang semakin lama semakin terasa jauh. Kau, temanku, apa lagi yang akan kau
katakan setelah cukup jauh meninggalkan aku seorang diri, juga tanpa mau untuk peduli?
Ingatkah engkau terhadap bekas luka yang tak kasat mata ini? Kau lihat aku
jatuh, lalu bangun; dari rasa ingin berharap. Kau hanya diam, menatapku
seolah-olah memang itulah yang kau inginkan. Tatapan iba, tatapan bukan
selayaknya seorang teman, tapi pengemis!
Biar
sedikit kuceritakan, teman, tentang seorang yang dijauhi bahkan oleh
masyarakatnya sendiri:
Kenal
kau dengan seorang musisi bernama Ludwig Van Beethoven? Syukurlah kalau kenal,
dan kalau tak, mari biar kuceritakan. Beethoven lahir di kota Bonn, Jerman, tahun
1770, lalu tiga belas tahun kemudian—dengan bakatnya yang luar biasa pada masa
remaja—dia bisa bikin buku musik. Kuulangi lagi, bikin buku musik sendiri!
Pendek cerita, dia belajar dari pencipta musik Wina kesohor. Seiring
pembelajarannya itu, dari Mozart yang cuma ketemu sekali, lalu belajar ke yang
lain setelah gurunya itu pergi dari dunia ini, semakin menjadilah nama Beethoven
di telinga masyarakat bersamaan dengan kelihaiannya bermain piano. Satu lagi,
di usia pertengahan dua puluh tahun ke atas, dia mampu menerbitkan dan menjual
buku ciptaannya tanpa kesulitan apa pun.
Tapi
sayang, pada masa-masa itu seorang musisi seperti Beethoven malah menderita
penyakit tuli. Ketuliannya membuat ia menjauhi masyarakat, dan masyarakat pun
jadi tak yakin dengan sosoknya yang mengagumkan itu. Masyarakat hanya menganggapnya
seorang yang antisosial, antimasyarakat, benci bergaul atau boleh jadi kalau
masa sekarang sebut saja ‘susah peduli’. Namun di balik penyakit tuli yang
dideritanya, kesuksesan justru datang karena produktivitasnya dalam berkarya.
Beethoven, dengan produktivitasnya itu tetapi lama-kelamaan karya-karyanya
sulit diterima bahkan dipahami oleh masyarakat. Kemudian ia bikin musik untuk
dirinya sendiri, juga para pendengar yang sama pekaknya, tapi punya pandangan
terhadap masa depan.
Beethoven
pun pernah berkata kepada seorang kritikus musik, “Ciptaanku ini bukanlah
untukmu, tetapi untuk masa sesudahmu.” Masa sesudahmu!
Nah,
itu tadi cerita tentang seorang dijauhi beberapa masyarakat, tetapi karya-karyanya
malang-melintang menginspirasi orang lain hingga detik ini. Dan jelas berbeda
denganku, yang belum berbuat sesuatu pun dari dan kepada kau, wahai teman
dengan berbagai macam bentuk kepedulian!
Sudah
baca surat terbuka dariku, kan, teman? Intinya dalam surat terbuka itu aku beserta
kedua buah naskah buku pertamaku ditolak oleh penerbit besar; setelah enam bulan
menghadapi suatu ketidakpastian. Pahit? Sungguh pahit! Tapi aku pun selalu
ingat pesan Ibu, sesuatu yang pahit adalah hal yang bikin sehat tubuh kembali,
tak terkecuali pikiran. Pikiran yang dalam ketidakpastian itu betul-betul
mengacaukan semua yang ada di depan mata. Pikiranku sendiri, juga aku tersakiti
olehnya! Tenanglah, sabar dulu, biar kuberitakan juga kabar yang kunamai ini: rasa
ingin mengasihani diri.
Sudah
kupikiran secara matang, bahwa aku telah mengalami yang namanya penolakan, lalu
berpaling ke cara yang dilakukan oleh Beethoven. Aku menerbitkan bukuku secara indie, itu pun masih butuh bantuan
teman-temanku yang ada di Jogja. Bukankah orang dalam hidupnya memilih, sekalipun
ia tak menentukan pilihan? Komentar, atau lebih sering orang suka menyebutnya
dengan sindiran, tak pelak hal itu memang sudah jadi dasar masing-masing orang.
Maka bila kau bertanya “Kapan bukumu terbit?”, akan dengan senang hati aku
menjawab satu atau dua bulan lagi.
Butuh
waktu, begitulah proses. Begitu kiranya yang dinamakan keindahan dan
kebahagiaan. Sebab hidup dari derita; dari berjuta kebusukan. Apa yang berlalu,
memang sudah selayaknya menjadi busuk. Termasuk aku, cerita-ceritaku, juga kau
dengan segala senyum palsumu. Teman, barangkali kau terlupa dengan kata-kataku:
kebahagiaan itu diciptakan, bukan dicari atau bahkan ditemukan. Sekalian aku
juga mengingatkan diriku sendiri, jika hidup yang indah memang tak bisa begitu
saja dinikmati secara mudah. Dan entah kepada siapa aku harus berterimakasih
selain kepada Tuhan, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, juga orang-orang
yang aku sayang dan sayang kepadaku.
Terimakasih,
dan maaf bila aku pernah mengecewakan kalian.
Nanti
kita sambung lagi keisenganku ini ya, teman, selalu teriring doa dari kejauhan.
Sebab hanya doa yang dapat kupersembahkan, tak lain dan tak bukan sebagai wujud
terimakasihku pada seorang teman.
Salam
bahagia dariku, seorang yang nantinya juga akan terlupakan oleh zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar