Kamis, 17 April 2014

Masa, Karma, dan Cinta yang Lain

Ini adalah cerpen saya yang tak berpulang dan tidak ada konfirmasi bilamana cerpen itu tidak lolos seleksi/tidak sesuai dengan syarat mengikuti lomba cerpen Mantan Terindah. Sekarang judulnya sudah saya ganti. Selamat membaca!

==================================================


“Yuda!” Aku mencari dari mana datangnya suara itu.
Seorang perempuan berdiri seraya tersenyum kepadaku.
Tiga tahun sudah segala tentang kami menuai bekas luka. Bekas luka yang tak kasat mata titik di kehidupanku. Kini perempuan itu datang kembali. Dari dirinya sangat jelas terdengar memanggil namaku lagi. Penampilannya tidak berubah meskipun aku dan dia telah berpisah cukup lama. Ya, lama—selama aku berusaha menyembuhkan hatiku yang terluka karena mencintainya.
“Aku ingin mengobrol sebentar denganmu, Yud.” Suara perempuan itu membangunkan lamunanku dan berbagai macam kenangan yang tidur di antara kami.
Kuajak ia untuk untuk duduk di sudut kanan restoran; dekat dengan kaca jendela. Beberapa pegawai kuminta membersihkan meja dan kursi, serta membuatkan segelas jus alpukat dengan campuran susu putih kental manis. Sedikit es, tambahku lagi. Aku masih hafal semua yang ia suka, tidak terkecuali juga tempat duduk favoritnya.
Kami berkenalan sekitar tujuh tahun yang lalu. Sejak dari semester satu di perkuliahan, aku dan perempuan itu sering menghabiskan sepanjang waktu kami secara bersama-sama. Bersama, berdua, lalu berpacaran hingga juga seragam meraih gelar sarjana. Skripsi kami kerjakan dengan giat; ke sana-sini mencari bahan informasi di lain alamat. Tidak ada beban, tidak ada kegelisahan hati, yang ada hanyalah kebersamaan yang silih berganti. Juga setelah lulus kuliah, hubungan kami menjadi begitu berbeda. Perempuan itu bukan lagi pacarku. Setidaknya kini, dari teman-temanku aku tahu: ia telah bersuamikan orang lain.
Tadinya aku tidak pernah percaya terhadap perkataan orang lain, termasuk teman-teman kuliahku yang hobinya bercanda dan membual. Empat setengah tahun aku dan perempuan itu saling terbuka dalam segala keadaan. Namun, sebentar kemudian muncul kenyataan yang disertai perselingkuhan. Dan itu terjadi saat langit kelulusanku dirundung sebuah awan mendung yang bernamakan pengangguran. Lamaran-lamaranku ditolak oleh perusahaan-perusahaan besar. Setengah tahun gelar sarjana ekonomiku hanya sekadar hitam di atas putih. Setengah tahun apa yang kuraih tersebut tidak lebih bagai selembar sertifikat omong kosong. Tetapi, lelaki menentukan jalan hidupnya sendiri.
Perempuan itu memperoleh pekerjaan yang cukup layak, juga ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2. Waktu itu aku masih menganggur. Lalu datang kabar dari teman-temanku, jika perempuan yang kusayangi itu telah berselingkuh. Lagi-lagi aku tak percaya, sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kejadian itu dengan dua mata di kepalaku. Perempuan itu memutuskan hubungan kami di saat aku sedang berada di bawah dan tiada penjelasan kenapa ia berselingkuh.
Jus alpukat yang kupesan telah ia minum seperempat gelas. “Bagaimana kabarmu?” tanyaku pada perempuan itu.
“Aku sudah lama mencarimu. Kabarku lagi kurang baik. Sebentar lagi aku akan bercerai dengan suamiku. Ia yang dulu kukira paling romantis, sekarang tidak lebih dari sebentuk wujud iblis. Perlakuannya kasar. Kalau itu aku masih bisa tahan. Tapi untuk tidur dengan wanita lain, jelas ini aku tidak terima! Eh, sekarang kau sudah jauh lebih baik ya?”
Aku bukan tipe orang yang pendendam. Namun aku percaya, di dunia ini juga terdapat yang namanya karma. Karma, bahkan setiap orang pernah terjebak di dalamnya.
“Aku ikut sedih mendengarnya. Iya, aku sudah jauh lebih baik dari tiga tahun yang lalu. Memang Tuhan Maha Penyayang. Dia kirim seorang kepadaku untuk mengajak bekerja sama mendirikan sebuah restoran. Dengan ilmu yang kupelajari di perkuliahan, ya beginilah yang kau lihat. Restoran kami jadi punya banyak cabang, dan aku bersyukur karena bisa bangkit dari keterpurukan.” ujarku pada perempuan itu.
“Aku rindu kamu, Yud! Aku ingin kita seperti dulu lagi.” sambarnya dengan segera.
Aku juga merindukanmu, tapi ini tak akan mungkin terulang kembali. “Sebetulnya aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Kau kan tahu bagaimana teman-temanku? Setiap hubungan itu kandas, mereka terus menjodohkanku lagi dengan wanita lainnya. Maafkan aku, Dinda, aku tak dapat kembali lagi kepadamu.” kataku tanpa berniat menyakiti ucapannya.
“Sayang. Kamu sudah makan siang?” Seorang perempuan langsung duduk tepat di sampingku.
“Kenalkan, Din, wanita ini yang telah jadi tunanganku.”

-tamat.

1 komentar: