Hari
itu kalender menunjukkan tanggal 29 November 2011 dan jatuh pada hari Selasa.
Sebelum gue bercerita lebih jauh, gue ingin mengawalinya dengan sebuah akun
Twitter dengan username: TweetAnakMuda. Akun tersebut terdiri dari tujuh admin,
mereka menyebut itu pelangi, dan gue terjebak di dalam 30.000 follower yang
mereka bangga-banggakan. Gue nggak tahu seberapa pentingnya jumlah pengikut,
lagi gue baru-barunya aktif di Twitter. Singkat cerita sih setelah putus sama
cewek gue karena saat kami pacaran—gue nggak ngerti cara mainnya, HP gue rusak,
dan dia cuekin gue yang cuma mejeng di chat Facebook.
Kita
balik lagi ke pelangi dengan 30.000 follower. Gue heran kenapa akun-akun begitu
lebih ingin mempromosikan admin-adminnya, dan inilah sebab gue bisa mengenal
beberapa admin di sana. Seiring gue yang nyampah di Timeline dan mention akun
mereka (baru belajar nulis juga hehe…), berinteraksilah gue dengan Didit juga
Nanda. Suatu ketika, akun ini diambil alih oleh seseorang dan memblok akun
Didit, Nanda, serta beberapa admin lainnya. Saat itu Didit sedang sibuk lomba dari
sekolahnya, timbul pertanyaan dari Nanda dan beberapa admin. Dan lucunya, gue
yang disangka hack akun mereka.
Gue
nyampah di akun-akun umum yang tema tweetnya tuh begini “Tweet—username” sambil
mention ke akun mereka buat ikut meramaikan. Berhubung gue nggak bakat ngelucu,
makanya gue ngetweet yang berbau dengan galau, patah hati, serta putus cinta.
*muntah*
Nah,
gue pun diwawancarai lewat SMS pas lagi pengen-pengennya menikmati hujan yang baru
aja turun. Jangankan menikmati hujan, lagu yang lagi gue putar di HP pun
langsung berhenti jika ada pesan masuk maupun telepon. Kira-kira begini isi
pesannya:
Nanda:
“Kak, seberapa jauh sih lo kenal sama Didit?”
Gue:
“Gue cuma kenal di Twitter kok, emang kenapa?”
Nanda:
“Kayaknya dulu lo sering mentionan sama dia deh?”
Gue:
Iya, lumayan, tapi akhir-akhir ini kayaknya dia lagi sibuk.”
Nanda:
“Akun TAM di-hack, kak!”
Gue:
“Loh, kok bisa? Eh, nggak heran juga sih, lagi 1 akun dipakai 7 orang.”
(pura-pura bego kalo akunnya udah diambil alih orang lain)
Nanda:
“Yah, terus gimana dong?”
Gue:
“Ikhlasin aja.”
Apa? Ikhlasin? 30.000 follower dilepas
gitu aja?
Buat yang maniak pencitraan sih kagak bakal dilepas nih akun. Gue belajar
mengikhlaskan bekas pacar gue (baca di awal postingan) dengan cara gue
mengikuti dia main Twitter. Hehe.
Hujan
turun dengan derasnya. Saat itu gue lagi ada di rumah kontrakan kakak gue,
jagain keponakan yang bapaknya pergi menjemput istrinya yang baru pulang kerja.
Beberapa saat Nanda udah nggak SMS lagi, tapi tiba-tiba ada pesan yang masuk ke
HP gue dan bertanya-tanya tentang Didit, juga sedikit mencurigai gue. Sebut
saja dia Kiki, cewek dengan ribuan follower dan senang menulis cerpen di blog
miliknya. Bahas tentang TweetAnakMuda, gue berusaha mengalihkan pembicaraan
tentang hujan.
“Kamu
suka hujan, nggak?” tanya gue.
“Enggak,
abis aku punya pengalaman pahit tentang hujan.”
“Emangnya
kenapa?” kata gue, sedikit penasaran.
“Karena
aku ditinggal seseorang waktu hujan turun.”
“Entah
kenapa aku begitu menyukai hujan. Seakan setiap tetesannya memiliki kehidupan
tersendiri. Aku mengibaratkan hujan sama seperti masalah-masalah. Kadang
datangnya rintik-rintik atau sedikit. Kadang juga datangnya sekaligus banyak,
deras pula. Namun aku percaya, kalau setelah hujan pasti akan ada terang—sama
seperti masalah, pasti akan ada solusinya.”
“Oh,
gitu ya?”
SMS
panjang-panjang, balesnya cuma “Oh, gitu
ya?” pahit.
“Iya,
begitulah adanya. Hahaha.” balas gue setelah menengok dua keponakan gue yang
ternyata sudah lelap tertidur.
Kembali
ke hari Selasa tanggal 29 November 2011. Jadi setelah gue sempat dibuat risih
sama Kiki yang nanyain tentang akun TAM, jatuh cinta lah gue padanya. Eciyeee
jatuh cinta, jatuh dari motor aja masih bilang “Mamaaa….” atau enggak malah
update status di jejaring sosial. Eh, tapi nggak cuma gue yang pernah berbuat
kayak gini. Hebat ya teknologi, bisa menyembuhkan luka bahkan sakit hati
sekalipun. Teori dari mana, Mul? Dari hati…
Gue
nggak pernah merencanakan untuk bersepeda di jalan raya Bogor, lalu belok kiri
dari pertigaan yang di atasnya ada tulisan “Ciracas—PKP” sebagai penunjuk arah,
kemudian duduk di sebuah warung makan dengan gue yang menjadi pengunjung satu-satunya
di tempat tersebut. Perjalanan yang cukup melelahkan. 45 menit batas normal, 1
jam batas nyasar.
Gue
cuma bertanya tentang alamat rumah Kiki, dia pun kaget ketika tahu gue sedang
menyantap mi ayam dagangan Pakdenya. Yap! Saat itu ternyata gue udah berada di
depan rumahnya. Semangkuk mi ayam telah habis, es teh tersisa setengah gelas,
tapi Kiki nggak mau menemui gue yang jauh-jauh datang bersama sepeda
kesayangan. Gue masih menunggunya untuk keluar dari dalam rumah. Berjarak satu
tatap di HP masing-masing. Apa bedanya gue sama LDR? LDR = Langganan Didatengin
Rindu. Paling enggak gue nggak sibuk berdamai sama rasa rindu akan pertemuan di
setiap detiknya. Tapi tunggu dulu—apalah arti mencinta bila kau juga tak
menginginkan derita.
Akhirnya
gue putuskan untuk pulang ke rumah sebelum malam kian mencekam. Baru ingin
mengayuh sepeda dari depan rumah Kiki—seakan ada kekuatan yang menahan lajunya—gue
jadi membatalkan kepergian itu.
Sebuah pesan menggoda gue untuk segera membacanya.
Dari Kiki.
Sebuah pesan menggoda gue untuk segera membacanya.
Dari Kiki.
“Ketemu
di Indomaret di seberang jalan, ya?”
“Oke,
aku tunggu di tukang martabak di depan Indomaret.”
Gue
paling suka martabak keju. Agak mewah sedikit, lagi pula selera orang kan berbeda-beda.
Suka atau tidak, masing-masing orang menginginkan sesuatu hal tapi terkadang
hanya bisa memimpikannya. Ya, walaupun gue suka dengan martabak keju, namun
dompet ini lebih sering menolak keinginan gue tersebut.
“Bang,
pesan martabak keju satu, sama numpang markir sepeda di sini boleh kan?”
Siapa
sih yang nggak membolehkan pesepeda buat parkir? Kecuali emang kalo lagi di
jalan raya. Gue sering bersepeda di pinggir (banget) jalan, tetap pengendara
motor dan mobil maksa nyalip, sementara jalan sempit. Dasar tak tahu diri!
Nggak nyepeda, nggak narik gerobak sampah—seenggaknya gue belajar—ketika gue berkendara
motor atau sedang di dalam angkutan umum, gue nggak buta jalan. Sadarlah kalian
wahai yang baca postingan gue ini! J
“Taruh
aja di situ, Dek.”
Bahkan
tukang martabak saja mengerti bagaimana cara bertoleransi kepada sesama
manusia, kenapa kamu tidak bisa?
Selagi
menunggu martabak matang, gue dan Kiki sesaat bercanda setelah ia selesai
berbelanja sesuatu di minimarket. Bukan bercanda sih sebenernya, tapi cuma mau
saling terbuka aja. Terbuka? Mau dong dibukain… *tunjuk resleting di sekujur
pakaian yang gue kenakan*
Kiki
begitu menyukai mawar, namun gue malah memberikannya sebungkus martabak. Apalah
itu, gue lantas menamainya Martabak Rasa Mawar. Gue nggak mau bilang ini adalah
sebentuk pengorbanan. Gue hanya tahu apa yang seharusnya gue lakukan dan tanpa
ada keterpaksaan. Semiskin-miskinnya gue, paling tidak dengan bersyukur dan bersabar
nggak bikin seseorang jadi miskin hati.
Kini
Martabak Rasa Mawar hanya tersisa durinya aja. Martabaknya sudah habis ia
makan, bunga mawarnya telah busuk, dan durinya tinggal gue yang mengemasnya
menjadi sebuah cerita. Duri tersebut merupakan hal yang membuat gue tersadar
jika hidup tak seenak makan martabak keju. Kami putus, dan sepanjang jalan dari
rumah gue sampai mol Cijantung menjadi saksi dua orang saling tertegun menatap
kekecewaan. Siapa yang bermain, siapa yang selingkuh, siapa yang mendua dan
siapa yang mesti disalahkan, follower di Twitter bukanlah apa yang seharusnya
lo bangga-banggakan. Perempuan itu udah menerbitkan buku, sedangkan gue hanya
bisa belajar dan terus belajar tentang betapa berharganya karya-karya yang
diciptakan dari ludah dan tetesan keringat.
Tahun
2007 gue pernah bilang kalau gue akan menerbitkan sebuah buku dan bisa berteman
dengan sesama penulis. Tahun 2007 gue pernah bilang kalau lagu pertama yang gue
ciptakan akan didengar banyak orang. Sekarang betapa gue setiap detiknya berusaha
untuk menjilat kembali ludah-ludah itu. Sebuah apresiasi baru akan terasa begitu
bermakna ketika si empunya karya mampu menghargai bagaimana karya tersebut ia
bawa kemana-mana. Dan sukses adalah kebahagiaan. Kapan pun, dimana pun, dan
bagaimana pun kamu merasa bahagia, saat itu juga kamu sudah jadi orang yang
sukses.
Tanggung
jawab tak semudah terus-terusan nanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar