Selasa, 12 November 2013

HUJAN KENANGAN: Martabak Rasa Mawar



Hari itu kalender menunjukkan tanggal 29 November 2011 dan jatuh pada hari Selasa. Sebelum gue bercerita lebih jauh, gue ingin mengawalinya dengan sebuah akun Twitter dengan username: TweetAnakMuda. Akun tersebut terdiri dari tujuh admin, mereka menyebut itu pelangi, dan gue terjebak di dalam 30.000 follower yang mereka bangga-banggakan. Gue nggak tahu seberapa pentingnya jumlah pengikut, lagi gue baru-barunya aktif di Twitter. Singkat cerita sih setelah putus sama cewek gue karena saat kami pacaran—gue nggak ngerti cara mainnya, HP gue rusak, dan dia cuekin gue yang cuma mejeng di chat Facebook.



Kita balik lagi ke pelangi dengan 30.000 follower. Gue heran kenapa akun-akun begitu lebih ingin mempromosikan admin-adminnya, dan inilah sebab gue bisa mengenal beberapa admin di sana. Seiring gue yang nyampah di Timeline dan mention akun mereka (baru belajar nulis juga hehe…), berinteraksilah gue dengan Didit juga Nanda. Suatu ketika, akun ini diambil alih oleh seseorang dan memblok akun Didit, Nanda, serta beberapa admin lainnya. Saat itu Didit sedang sibuk lomba dari sekolahnya, timbul pertanyaan dari Nanda dan beberapa admin. Dan lucunya, gue yang disangka hack akun mereka.
Gue nyampah di akun-akun umum yang tema tweetnya tuh begini “Tweet—username” sambil mention ke akun mereka buat ikut meramaikan. Berhubung gue nggak bakat ngelucu, makanya gue ngetweet yang berbau dengan galau, patah hati, serta putus cinta. *muntah*
Nah, gue pun diwawancarai lewat SMS pas lagi pengen-pengennya menikmati hujan yang baru aja turun. Jangankan menikmati hujan, lagu yang lagi gue putar di HP pun langsung berhenti jika ada pesan masuk maupun telepon. Kira-kira begini isi pesannya:
Nanda: “Kak, seberapa jauh sih lo kenal sama Didit?”
Gue: “Gue cuma kenal di Twitter kok, emang kenapa?”
Nanda: “Kayaknya dulu lo sering mentionan sama dia deh?”
Gue: Iya, lumayan, tapi akhir-akhir ini kayaknya dia lagi sibuk.”
Nanda: “Akun TAM di-hack, kak!”
Gue: “Loh, kok bisa? Eh, nggak heran juga sih, lagi 1 akun dipakai 7 orang.” (pura-pura bego kalo akunnya udah diambil alih orang lain)
Nanda: “Yah, terus gimana dong?”
Gue: “Ikhlasin aja.”
Apa? Ikhlasin? 30.000 follower dilepas gitu aja? Buat yang maniak pencitraan sih kagak bakal dilepas nih akun. Gue belajar mengikhlaskan bekas pacar gue (baca di awal postingan) dengan cara gue mengikuti dia main Twitter. Hehe.
Hujan turun dengan derasnya. Saat itu gue lagi ada di rumah kontrakan kakak gue, jagain keponakan yang bapaknya pergi menjemput istrinya yang baru pulang kerja. Beberapa saat Nanda udah nggak SMS lagi, tapi tiba-tiba ada pesan yang masuk ke HP gue dan bertanya-tanya tentang Didit, juga sedikit mencurigai gue. Sebut saja dia Kiki, cewek dengan ribuan follower dan senang menulis cerpen di blog miliknya. Bahas tentang TweetAnakMuda, gue berusaha mengalihkan pembicaraan tentang hujan.
“Kamu suka hujan, nggak?” tanya gue.
“Enggak, abis aku punya pengalaman pahit tentang hujan.”
“Emangnya kenapa?” kata gue, sedikit penasaran.
“Karena aku ditinggal seseorang waktu hujan turun.”
“Entah kenapa aku begitu menyukai hujan. Seakan setiap tetesannya memiliki kehidupan tersendiri. Aku mengibaratkan hujan sama seperti masalah-masalah. Kadang datangnya rintik-rintik atau sedikit. Kadang juga datangnya sekaligus banyak, deras pula. Namun aku percaya, kalau setelah hujan pasti akan ada terang—sama seperti masalah, pasti akan ada solusinya.”
“Oh, gitu  ya?”
SMS panjang-panjang, balesnya cuma “Oh, gitu  ya?” pahit.
“Iya, begitulah adanya. Hahaha.” balas gue setelah menengok dua keponakan gue yang ternyata sudah lelap tertidur.
Kembali ke hari Selasa tanggal 29 November 2011. Jadi setelah gue sempat dibuat risih sama Kiki yang nanyain tentang akun TAM, jatuh cinta lah gue padanya. Eciyeee jatuh cinta, jatuh dari motor aja masih bilang “Mamaaa….” atau enggak malah update status di jejaring sosial. Eh, tapi nggak cuma gue yang pernah berbuat kayak gini. Hebat ya teknologi, bisa menyembuhkan luka bahkan sakit hati sekalipun. Teori dari mana, Mul? Dari hati…
Gue nggak pernah merencanakan untuk bersepeda di jalan raya Bogor, lalu belok kiri dari pertigaan yang di atasnya ada tulisan “Ciracas—PKP” sebagai penunjuk arah, kemudian duduk di sebuah warung makan dengan gue yang menjadi pengunjung satu-satunya di tempat tersebut. Perjalanan yang cukup melelahkan. 45 menit batas normal, 1 jam batas nyasar.
Gue cuma bertanya tentang alamat rumah Kiki, dia pun kaget ketika tahu gue sedang menyantap mi ayam dagangan Pakdenya. Yap! Saat itu ternyata gue udah berada di depan rumahnya. Semangkuk mi ayam telah habis, es teh tersisa setengah gelas, tapi Kiki nggak mau menemui gue yang jauh-jauh datang bersama sepeda kesayangan. Gue masih menunggunya untuk keluar dari dalam rumah. Berjarak satu tatap di HP masing-masing. Apa bedanya gue sama LDR? LDR = Langganan Didatengin Rindu. Paling enggak gue nggak sibuk berdamai sama rasa rindu akan pertemuan di setiap detiknya. Tapi tunggu dulu—apalah arti mencinta bila kau juga tak menginginkan derita.
Akhirnya gue putuskan untuk pulang ke rumah sebelum malam kian mencekam. Baru ingin mengayuh sepeda dari depan rumah Kiki—seakan ada kekuatan yang menahan lajunya—gue jadi membatalkan kepergian itu.
Sebuah pesan menggoda gue untuk segera membacanya.
Dari Kiki.
“Ketemu di Indomaret di seberang jalan, ya?”
“Oke, aku tunggu di tukang martabak di depan Indomaret.”
Gue paling suka martabak keju. Agak mewah sedikit, lagi pula selera orang kan berbeda-beda. Suka atau tidak, masing-masing orang menginginkan sesuatu hal tapi terkadang hanya bisa memimpikannya. Ya, walaupun gue suka dengan martabak keju, namun dompet ini lebih sering menolak keinginan gue tersebut.
“Bang, pesan martabak keju satu, sama numpang markir sepeda di sini boleh kan?”
Siapa sih yang nggak membolehkan pesepeda buat parkir? Kecuali emang kalo lagi di jalan raya. Gue sering bersepeda di pinggir (banget) jalan, tetap pengendara motor dan mobil maksa nyalip, sementara jalan sempit. Dasar tak tahu diri! Nggak nyepeda, nggak narik gerobak sampah—seenggaknya gue belajar—ketika gue berkendara motor atau sedang di dalam angkutan umum, gue nggak buta jalan. Sadarlah kalian wahai yang baca postingan gue ini! J
“Taruh aja di situ, Dek.”
Bahkan tukang martabak saja mengerti bagaimana cara bertoleransi kepada sesama manusia, kenapa kamu tidak bisa?
Selagi menunggu martabak matang, gue dan Kiki sesaat bercanda setelah ia selesai berbelanja sesuatu di minimarket. Bukan bercanda sih sebenernya, tapi cuma mau saling terbuka aja. Terbuka? Mau dong dibukain… *tunjuk resleting di sekujur pakaian yang gue kenakan*
Kiki begitu menyukai mawar, namun gue malah memberikannya sebungkus martabak. Apalah itu, gue lantas menamainya Martabak Rasa Mawar. Gue nggak mau bilang ini adalah sebentuk pengorbanan. Gue hanya tahu apa yang seharusnya gue lakukan dan tanpa ada keterpaksaan. Semiskin-miskinnya gue, paling tidak dengan bersyukur dan bersabar nggak bikin seseorang jadi miskin hati.
Kini Martabak Rasa Mawar hanya tersisa durinya aja. Martabaknya sudah habis ia makan, bunga mawarnya telah busuk, dan durinya tinggal gue yang mengemasnya menjadi sebuah cerita. Duri tersebut merupakan hal yang membuat gue tersadar jika hidup tak seenak makan martabak keju. Kami putus, dan sepanjang jalan dari rumah gue sampai mol Cijantung menjadi saksi dua orang saling tertegun menatap kekecewaan. Siapa yang bermain, siapa yang selingkuh, siapa yang mendua dan siapa yang mesti disalahkan, follower di Twitter bukanlah apa yang seharusnya lo bangga-banggakan. Perempuan itu udah menerbitkan buku, sedangkan gue hanya bisa belajar dan terus belajar tentang betapa berharganya karya-karya yang diciptakan dari ludah dan tetesan keringat.
Tahun 2007 gue pernah bilang kalau gue akan menerbitkan sebuah buku dan bisa berteman dengan sesama penulis. Tahun 2007 gue pernah bilang kalau lagu pertama yang gue ciptakan akan didengar banyak orang. Sekarang betapa gue setiap detiknya berusaha untuk menjilat kembali ludah-ludah itu. Sebuah apresiasi baru akan terasa begitu bermakna ketika si empunya karya mampu menghargai bagaimana karya tersebut ia bawa kemana-mana. Dan sukses adalah kebahagiaan. Kapan pun, dimana pun, dan bagaimana pun kamu merasa bahagia, saat itu juga kamu sudah jadi orang yang sukses.
Tanggung jawab tak semudah terus-terusan nanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar