Aku tidak tahu akan
seperti apa jadinya bila aku tidak menuliskan ini semua. Mungkin hanya akan mengabadi
di dalam ingatan, pun lain hal jika aku mengabadikannya lewat tulisan. Atau
dengan beberapa gambar, semoga zaman tidak membuat kenangan ini menjadi pudar.
ASEAN LITERARY FESTIVAL,
21-23 Maret 2014.
Sejak sebelum acara itu
diadakan, aku sudah berniat untuk datang. Hari pertama, saat aku sudah bersiap menuju
ke tempat diadakannya acara tersebut, hujan memaksa aku menunda harapanku.
Harapanku tidak banyak; aku hanya ingin bertemu dengan orang-orang hebat. Alhamdulillah, harapanku itu bisa
diwujudkan pada hari kedua dan hari ketiga.
Aku bertemu dengan para
penyair, para penulis, para pembaca, para penerbit, para editor, dan pe- yang lainnya.
Para pujangga juga ada, tapi sayang beberapa menganggapnya hanya sekumpulan
orang lebay. Kau tahu apa itu lebay? Menurut gosip yang kudengar dari
anak gaul, lebay berarti berlebihan.
Kata ini sudah kudengar sedari masih mengenakan seragam putih-biru, masa-masa
di mana aku dianggap lebay oleh
beberapa teman di sekolahku. Mulailah aku memasukkan kata itu ke dalam kamus hidupku.
Beruntung sekarang aku tidak lagi dianggap begitu, terutama oleh
tetangga-tetangga di rumah. Mereka malah menamaiku pujangga: pujangga cadel. Ya sudahlah, aku terima
saja nama yang indah itu. Lagi pula mereka sudah terlanjur bilang ke ibuku.
Begini kata mereka: “Mak! Lihat tuh anakmu! Sekarang jadi pujangga dia!
Pujangga yang nggak bisa ngomong R!” Dan setiap mereka bilang begitu, aku
selalu mampu tertawa sejadi-jadinya. Pujangga
yang nggak bisa ngomong huruf R!
Maaf agak curhat,
memang begitulah adanya.
Pada hari kedua datang ke ASEAN LITERARY FESTIVAL 2014, aku langsung diminta menjadi anak magang oleh penerbit indie dari Yogyakarta. Selain menjadi salah satu penulis di penerbit itu, aku terima tawaran menjadi seorang anak magang, menjual buku-buku, dan promosi buku bikinan sendiri. Kau tahu, hal ini ternyata bisa membuat aku mabuk! Tidak! Aku tidak mabuk karena bir! Aku dimabukkan oleh senyum pengunjung, tatapan mata mereka, dan tawa ketika aku menyebutkan judul bukuku.
“Memang judulnya apa,
Mas?” tanya beberapa dari mereka, mereka yang menyimak dengan sangat baik.
“Catatan Mantan
Playboy, Mbak.” jawabku dengan senyum simpul.
“Hahaha…”
Betapa aku tidak bisa
tidak bahagia. Hanya dengan mengatakan judul bukuku, senyumku langsung dibalas
dengan tawa oleh mereka. Dalam hal ini aku mendapat beberapa pelajaran dari Mas
Bagustian, teman yang nyata, yang tadinya hanya kukenal lewat Twitter. Aku turut
berduka cinta untuk HP-mu yang dicuri orang, Mas!
Selama dua hari terakhir
mengikuti acara itu, aku tidak hanya bisa melihat, bahkan bisa sedikit
berbincang dengan orang-orang yang menurutku—mereka hebat. Aku tak perlu
menyebutkan nama-nama mereka di sini. Takut nanti ada yang merasa sakit hati
karena tidak dicantumkan. Biarlah gambar di atas yang menjelaskan.
Meski pada saat
mengikuti acara itu aku lebih banyak diam, paling tidak aku tidak lagi merasa
asing di dalam keramaian, dan tidak lagi disibukkan oleh berbagai lamunan. Ya! Lamunan
yang aku ciptakan seorang diri! Di antara orang-orang
hebat yang kutemui kemarin, aku berjumpa dengan teman-teman lamaku. Semacam reuni,
tapi tidak semua temanku juga kenal dengan temanku yang lainnya. Reuni
terpisah! Semoga aku dan kalian bisa bertemu lagi di lain kesempatan.
Aku mengikuti dan menyaksikan beberapa kegiatan, diantaranya yaitu: pembacaan puisi, musikalisasi puisi, hujan puisi, menerbangkan puisi. Puisi, puisi, puisi, bukan essai, apalagi puisi essai.
Sebelum aku mengakhiri
catatanku yang berantakan ini, izinkan aku mengucap terima kasih.
Untuk siapa pun yang
menghadiri ASEAN LITERARY FESTIVAL 2014, terima kasih untuk tidak berlaku sombong
kepada seorang yang baru pertama kali bertemu muka.
Kampung Makasar, 24 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar